Seandainya....

Bermula dari seorang kawan, tiba-tiba ia mengirim pesan ingin bercerita mengenai hal yang — katanya, akan menyulut emosi. Karena sedang menjalankan ibadah, kupinta ia menunda sampai waktu berbuka puasa, agar sumpah serapah tidak keluar dari mulut saya.

Jam berbuka sudah lewat, shalat tarawih juga sudah selesai, saya mengirim pesan teks sekadar mengingatkan. Tanpa waktu lama — seperti sudah disiapkan, ia langsung mengirim pesan panjang berisikan apa saja yang ingin ia ceritakan secara detil.

Oh, rupanya masih hal yang sama.

Sebut saja nama kawan saya itu Bunga. Bunga adalah kawan dekat saya, dua tahun lalu ia pernah bercerita bahwa ia naksir dengan seseorang, namanya Kang Amar. Saya tahu sekali kalau Bunga wanita yang taat akan agama, jadi saya tidak bisa menyarankan agar Bunga berpacaran, karena dalam gama islam tidak ada masa pacaran, namum Bunga juga belum siap untuk menikah karena ada prioritas lain.

Singkat cerita, Bunga dan Kang Amar sering bertemu untuk menjalankan projek di salah satu badan amal nasional. Mereka bekerja bersama dan itu membuat semakin dekat sampai suatu hari ada seorang kawan mereka yang bertanya “Oh, jadi sekarang Bunga sama Kang Amar, ya?” Kang Amar terdiam, Bunga bingung harus bereaksi apa. Tidak mungkin secara gamblang ia menjawab “Iya.” Kang Amar saja tidak tahu isi hati Bunga, masa iya, Bunga memberi tahu orang lain duluan?

“Engga, kok, Kang. Saya sama Kang Amar cuma teman.”

Kang Amar agak sedikit terkejut mendengar respon yang Bunga lontarkan, hatinya menciut memilih mundur, sedangkan dalam hati Bunga berdoa semoga Kang Amar ada niat lebih dari sekedar teman.

Dari situ hubungan Bunga mulai renggang. Jarang bertemu tetapi masih saling menanyakan kabar lewat whatsapp, sampai suatu hari Bunga menerima pesan bahwa Kang Amar akan menikah di bulan syawal. Perasaan Bunga kalut, ia sedikit kecewa ternyata selama ini Kang Amar memang tidak ada niat lebih dari sekadar teman.

Move on bukanlah menjadi sebuah pilihan lagi, Bunga memang harus melupakan Kang Amar hingga suatu saat Kang Amar mencoba menghubungi Bunga kembali melalui what’sapp hanya untuk menjelaskan sesuatu yang membuat dadanya sesak.

Lega, itulah yang bunga rasakan setelah melalui obrolan panjang karena pertanyaan yang menggantung selama dua tahun sudah terjawab lunas. Pertanyaan-pertanyaan mengapa Kang amar tiba-tiba undur diri dan memilih menikah dengan wanita lain.

Semua karena prasangka. Bunga mengira Kang Amar hanya menganggap Bunga tak kebih dari adik, dan Kang Amar mengira Bunga mengganggap Kang Amar tak lebih dari seorang teman. Tak ada kejelasan saat dekat dulu, tak ada yang berani saling mengungkapkan apa yang dipendam oleh masing-masing hati. Kang Amar keburu menciut saat bunga bilang Ia dan Kang amar hanya teman dan Bunga yang tetap bungkam walaupun ia sebenarnya menyimpan rasa.

Mungkin garis takdir akan bercerita lain hal jika seandainya Kang Amar jujur akan niat baiknya terhadap Bunga dan Bunga juga menyampaikan apa yang ia rasa…

Seandainya…

Comments