Love Will Find A Way [Prolog]


Lihat! Gambarnya cantik bukan? setidaknya gambar itulah yang paling sempurna unutk mewakili imajinasiku. Dalam foto itu ada Aku, Taufik, dan Nadia. Lihat senyum gadis itu, layaknya seorang peri, bukan? Gadis itu berumur 5 tahun, kami bertemu di salah satu gerbong padat KRL Jakarta-Bogor, aku cukup beruntung seseorang mengalah untuk berdiri menggantikan aku agar duduk dan disitulah kami bertemu lagi. 


Taufik tidak banyak berubah, hanya wajah mulusnya kini ditumbuhi janggut tipis serta kumis, posturnya tetap tegap, senyumnya masih sama, entah apa lagi yang dapat aku gambarkan aku kehabisan kata. 

Mungkin pria itu yang tidak mengenaliku, hampir 6 tahun tidak bertemu dan aku telah banyak mengalami perubahan.
"You look totally different," ujarnya sambil tertawa renyah, "Baik atau buruk?" candaku lalu kami larut dalam obrolan singkat ke masa lalu saat semangat sebagai mahasiswa masih berkobar. Dimana hari-hari sepulang kuliah kami selalu habiskan membahas isu-isu, kebijakan kampus ataupun perbaikan, dan inovasi-inovasi lain yang seharusnya kampus kami miliki. Tak hanya aku dan taufik, organisasi kami beranggotakan 6 orang tapi entah mengapa hanya ia yang ku ingat.

Selama larut dalam percakapan yang penuh nostalgia, aku tak menydari seorang gadis kecil berambut panjang mengamatiku dengan matanya yang bulat bak kacang almond, seketika aku berhenti, menoleh dan tersenyum, "Halo!" sapaku ramah, gadis itu cantik, bukannya menjawab gadis itu berpaling kepada Taufik, awalnya aku tidak paham, namun setelah pria itu menjelaskan siapa diriku, aku mengerti. Taufik adalah seorang ayah!

"Halo, Nadia, tante teman ayah waktu ayah kuliah dulu, ayo kenalan dong!" ujarku lembut. Aku memang mempunyai ikatan khusus dengan anak-anak, walaupun belum menikah aku sangat mencintai mereka. Nadia tersipu dan merengek, Taufik berlutut dihadapannya, "Nadia kenapa? Tuh tante Adel pengen kenalan sama Nadia," 

"Ayah ko gak duduk? Nanti ayah cape lho berdiri terus." Oh jadi gadis itu merengek karena Taufik yang mengalah agar tidak duduk, aku jadi merasa tidak enak, "Nadia sayang, ayah gak apa-apa kok berdiri, nadia gak kasian sama tantenya kalau tantenya berdiri? Tantenya kan perempuan, ayah laki-laki jadi ayah yang harus ngalah." hibur Taufik lembut serta merta Nadia mengangguk, ia gadis yang pintar. 

Aku tak bisa berkata apapun, terpaku melihat Taufik dan putrinya. Wajar saja, usia kami menginjak kepala 3 ia telah dikaruniai seorang putri, sedangkan aku, mungkin hanya aku yang belum menikah. Aku penasaran siapa ibunya Nadia, mengapa ia tidak ikut? aku yang bertanya-tanya tidak menghadiri pernikahannya ataupun pernikahan siapapun selama 5 tahun terakhir, tapi aku rasa bukan urusanku untuk mengetahuinya tapi, hati ini terus bertanya.

"Adel," Lamunanku buyar ketika Taufik melambaikan tangannya di wajahku, "Itu Nadia tanya juga,"
"Oh iya sayang, tanya apa? Maaf ya tadi tante gak denger." elakku lembut, "Tadi Nadia tanya, tante mau kemana, emangnya tante lagi mikirin apa sih sampe Nadia gak didengerin?" pertanyaanya membuatku tersenyum, ternyata tujuan kami sama, kami hendak turun di Stasiun Bogor. 

Kerta melesat melewati stasiun Juanda, hanya selang 20 menit sejak awal bertemu aku dan Nadia sudah akrab. Nadia anak yang serba ingin tahu, apapun yang ia tanyakan pasti ku jawab, kerena anak seumuran Nadia sedang mengalami masa yang haus akan pengetahuan, ia akan terus bertanya mengapa dan apa. Sesekali Taufik melemparkan sebuah teka teki yang lucu, sehingga membuat kami tertawa larut dalam bahagia, ini sederhana, dan mereka bukan bagian dari hidupku. Maksud ku, aku dan Taufik hanya teman lama, dan Nadia adalah sebuah kejutan yang mempertegas bahwa Taufik sudah menikah dan ia adalah Seorang ayah. Namun entah mengapa terselip rasa hangat yang tak bisa dijelaskan, inikah rasanya mempunyai keluarga? lirihku. 

Kereta berhenti di depok, nampaknya terdapat gangguan sehingga kereta berhenti lebih lama dari biasanya, aku pikir setelah enam tahun akomodasi transportasi di Indonesia sudah berubah, tapi nyatanya tidak, masih sama. Sudah 10 menit kereta berhenti dan masih dalam keadaan diperbaiki, ku lirik nadia yang sedang terkantuk-kantuk, tanpa berpikir panjang aku langsung menggendongnya dan menidurkannya di pangkuanku. Mungkin Taufik akan menganggap ini berlebihan, tapi biarlah aku tidak tega. 

Taufik menatapku, entah apa yang ia pikirkan aku tidak bisa menebaknya. Aku hanya membalas ternyesum sambil menepuk kursi yang tadinya di duduki nadia. aku tahu kakinya pegal karena ia menghela nafas ketika ia merenggangkan kakinya. 

"Del, Nadia..." 
"Udah gak apa-apa, fik. Biar sama gue aja, kasian." Potongku cepat. Taufik tersneyum mengucapkan terima kasih, ia meletakkan kaki nadia lurus di atas pahanya, kulirik tak ada cincin di jari manis, mungkinkah...
"Please, stop starring me like that. If you're asking me about why I didn't wear my wedding ring the answear  is, I got divorce," aku terkejut, aku bisa melihat Taufik yang mengulas senyum, seketika aku merasa sangat bersalah.
"Fik, I'm so so sorry. I didn't mean to.."
"Hey, it's ok. Gue udah terbiasa. Case closed. Udah empat tahun yang lalu. Nadia juga udah gak apa-apa. Mungkin karena dia masih kecil." 

Hatiku menciut, I just can't imagine how's her life without a mother! Seriously, sekecil ini hidup tanpa seorang ibu? Aku bisa melihat sorot sendu di mata Taufik, entah itu perasaan lelah, kesepian, ataukah rindu. Aku tidak ingin menanyakan dimana dan siapa ibunya Nadia, aku takut melukai perasaanya lebih dalam. 

Sementara aku tenggelam dalam pikiranku, Taufik menyandarkan kepalanya dan terlelap. Berbagai pertanyaan mulai muncul dalam benakku, mengapa mereka bercerai? Apakah Taufik tertangkap basah mempunyai affair dengan wanita lain? Apakah sebaliknya? Siapa mantan istri Taufik? Apakah ia cantik? Seorang Taufik mengapa bisa bercerai? Mengapa rumah tangganya hancur? Ia orang yang sangat idealis, berpendirian teguh, aku mengenal Taufik sangat baik ketika kami kuliah dulu, tapi mengapa?

Nadia menggeliat, matanya terbuka dan langsung duduk di pangkuanku, "Tante, Nadia haus," ujarnya sambil mengucek-ngucek mata. Sangat menggemaskan.

"Sebentar ya sayang, tante punya minum," Aku merogoh air mineral di tas tanganku. Nadia langsung meneguknya hampir habis. Tentu saja perjalanan ini melelahkan, berjalan-jalan mengitari kota tua, siapa yang tidak lelah? Nadia menutup botol air mineral dan memeluknya, ia menyandarkan kepalanya di dadaku, spontan aku mengusap punggung dan mengecup keningnya. Sudah ku katakan, hatiku gampang tersentuh oleh anak-anak. 

***

Kami berpisah di stasiun bogor, aku tidak menanyakan kemana mereka hendak pergi, entahlah hanya tidak ingin Taufik menganggapku menjadi begitu peduli bagi keluarga kecilnya walaupun sebenarnya aku peduli—terhadap Nadia.

Aku menyalakan mesin mobilku, segra tancap gas menembus kemacetan kota Bogor. Aku belum pernah melihat Bogor sepadat ini. Jalanan padat merayap, sepanjang perjalanan pulang entah mengapa aku hanya teringat akan Nadia. Hatiku mencelos, ketika mengetahui bahwa anak itu tumbuh tanpa seorang Ibu. Apakah perasaan itu hanya perasaan iba? Ataukah sifat keibuan yang memang seharusnya muncul pada wanita seusiaku? Mungkin Ayah benar, mungkin seharusnya aku menikah.

Hanya saja, semua lelaki itu sama! Mudah berjanji hanya saja tidak selalu ditepati. Teringat akan alasan mengapa aku kembali ke rumah, hatiku disambar rasa panas, mataku mulai berair. Pedihnya pengkhianatan masih terasa, ternyata waktu tidak menyembukannya—tidak, tidak perlu kuingat! Aku pulang untuk melupakan masa lalu, bukan mengingat!



-**-


Disclaimer! 
Cerita ini hanya fiksi, pure ide author sebagai penulis. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian, ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata tidak ada unsur kesengajaan!

Picture credit : Google

Hei! Segitu aja prolog dari saya.
Gimana? ketebak gak ceritanya bakal kaya apa?
Keep on reading guys!

Mwa!
Daisy

Comments